Papua Berdarah: Salah Apa Masjid Kami Di Bakar?...


By: Gus Wim

Saat pelaksanaan sholat Idul Fitri pada hari Jumat tanggal 17 Juli Tahun 2015, tragedi kemanusiaan pecah dengan terjadinya pembakaran kios dan Masjid di Tolikara, Papua. Bahkan jumlah korban berjatuhan dengan darah dan nyawa hilang membuat suasana mencekam disaat hari yang seharusnya penuh kebahagiaan bagi umat Islam, tetapi dalam hitungan detik suasana berubah menjadi air mata dan darah.

Kejadian pembakaran Masjid di Tolikara, Papua membuat umat Islam di dunia, khususnya umat Islam di Nusantara terhenyak dan diam sejenak, untuk merenungkan peristiwa yang terjadi atas pembakaran masjid yang dilakukan oleh para tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, tentunya membuat hati nurani umat Islam miris dan berduka atas tragedi pembakaran masjid dan jatuhnya korban atas tragedi pembakaran masjid di Tolikara, Papua.

Kerukunan yang digaungkan dengan istilah: "Bhinneka Tunggal Ika" sejenak terkoyak oleh segilintir oknum (Kristen Anti Toleransi) dengan melakukan pembubaran Sholat Idul Fitri dan pembakaran Masjid di Tolikara, Papua. Sehingga membuat umat Islam tergerak hatinya dan mendo'akan para korban atas tragedi pembakaran masjid yang jauh dari sifat toleransi antar umat beragama.

Dengan kejadian pembakaran masjid di Papua dan atas korban berdarah di Papua membuat hati bertanya, Salah apa masjid kami (tempat ibadah umat Islam) di bakar?.... Sungguh pertanyaan ini dari hati yang dalam, begitu kejinya para pembakar tempat ibadah umat Islam di tanah Papua tercinta.

Atas kejadian pembakaran masjid di Papua membuat kerukunan antar umat beragama diambang kehancuran. Sehingga kalau tidak dapat ditangani dengan cepat oleh para tokoh lintas agama dan para aparatur negara, tentunya kejadian di Tolikara, Papua dapat melebar kedaerah-daerah lainnya.

Papua berdarah dengan kejadian pembakaran masjid dan pembubaran para jama'ah Sholat Idul Fitri membuat hati dan pikiran umat manusia, khususnya umat Islam tercabik-cabik hatinya atas tragedi kemanusiaan dan atas runtuhnya kebebasan dalam beragama yang telah diatur dalam tatanan hak azazi manusia. Maka untuk itulah tindakan pembakaran masjid di Tolikara, Papua sudah seharusnya ditindak tegas bagi para pembakar masjid tempat beribadah tersebut.

Salah apa masjid kami dibakar? pertanyaan ini selalu menggelitik hati nurani bagi yang mau berpikir atas tragedi kebebasan dalam menjalankan ibadah dan atas tragedi kemanusiaan di tanah Tolikara, Papua.

Semoga sang maha kuasa memberikan ketabahan bagi para korban pembakaran masjid di Tolikara,Papua. Amin..................

Menggali Al-Qur'an: Mushaf Ali Bin Abi Thalib dan Mushaf Utsmani


By: Khoirul Taqwim

Keberadaan Mushaf Utsmani yang menjadi bacaan dan hafalan bagi para pengkaji Al-Qur'an di berbagai wilayah dunia menjadikan ruh dari sumber segala sumber ajaran agama Islam, tetapi untuk keberlangsungan umat dalam menambah kekayaan umat Islam, ternyata membutuhkan kajian kembali tentang Mushaf Ali Bin Abi Thalib yang lama terpendam dalam sejarah, untuk di kaji kembali dan dikomparasikan dengan Mushaf Utsmani, supaya kekayaan Mushaf Al-Qur'an semakin kaya dalam kajian khazanah ke-Islaman.

Perbedaan umat Islam dalam pemahaman dan penulisan mushaf Al-Qur'an sejak zaman sahabat sampai saat ini, ternyata memperkaya kekayaan khazanah intelektual Islam, bahkan perbedaan cara penulisan Mushaf Al-Qur'an sejak zaman kenabian sudah berlangsung. Berangkat dari sinilah, bahwa penulisan Mushaf Al-Qur'an memang mengalami perbedaan sejak zaman dahulu sampai saat ini. Sehingga perbedaan itu menambah kekayaan umat di dalam mengkaji nilai-nilai ke-Islaman.

Ketika kita mencoba menggali tentang Mushaf Ali Bin Abi Thalib dan menggali Mushaf Utsmani, tentunya terlintas di dalam pikiran kita, untuk mengkomparasikan kedua Mushaf Al-Qur'an yang populer dikalangan umat Islam, khususnya bagi para penggali Mushaf Al-Qur'an di dalam mencari sebuah kebenaran antara pemahaman dan pemikiran Mushaf Ali Bin Abi Thalib dengan Mushaf Utsmani.

Dengan melihat kedua Mushaf Al-Qur'an antara Ali Bin Abi Thalib dengan Mushaf Utsmani, mari kita pahami mushaf tersebut, melalui kajian dibawah ini:

Mushaf Ali bin Abi Thalib memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh mushaf lainnya. Karakter khusus mushaf Ali Bin Abi Thalib adalah: ayat dan surat tersusun rapi sesuai dengan urutan turunnya. Berangkat dari sinilah ayat-ayat makkiyah diletakkan sebelum ayat-ayat madaniyah, ayat-ayat yang turun masa awal diletakkan lebih dahulu dari pada ayat-ayat yang turun belakangan.

Dari uraian diatas dapat dikatakan, bahwa Mushaf Ali Bin Abi Thalib proses pengumpulan Mushaf Al-Qur’an berdasarkan “urutan turunnya” (tartib nuzul). Maka tidak jarang Mushaf Ali Bin Abi Thalib di dalam dunia tulis dikatakan lebih mendekati kebenaran wahyu Ilahi dibanding Mushaf lainnya. Mengingat Mushaf Ali Bin Abi Thalib di tulis secara runut di banding Mushaf Usmani dan lain sebagainya.

Sedangkan Ciri-ciri mushaf Utsmani adalah: Susunannya seperti yang banyak beredar saat ini, hanya ada perbedaan sedikit dengan beberapa mushaf sahabat dalam susunan atau urutan surat. Misalnya jika mushaf sahabat lainnya meletakkan Surat Yunus masuk dalam tujuh surat besar dan di urutuan ke-7.

Berangkat dari uraian diatas tidak jarang yang mengatakan, bahwa Mushaf Utsmani hasil dari ijtihad para sahabat dalam pemaham tentang dunia tulis wahyu Ilahi.

Mushaf Ali Bin Abi Thalib dengan Mushaf Utsmani menjadikan kedua Mushaf sebagai kekayaan umat Islam, untuk terus digali sebagai kekayaan Ilmu Pengetahuan bagi umat Islam, sekaligus menjadi bahan rujukan dalam mengembangkan kekayaan Ilmu pengetahuam Islam.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan nikmat kepada para penggali Mushaf Usmani dan Mushaf Ali Bin Abi Thalib, Amin............

Membedah Tembung "Manunggaling Kawula Gusti"


By: Khoirul Taqwim

Ketika membahas tentang permasalahan tembung "Manunggaling Kawula Gusti", terlebih dahulu saya mengajak kepada para pembaca, untuk menarik nafas sedalam mungkin, supaya kondisi kita saat membaca artikel pendek ini dapat menampung dan menganalisa secara jernih dan secara cerdas di dalam mengungkap istilah "Manunggaling Kawula Gusti".

Istilah "Manunggaling" merupakan sebuah proses penyucian diri (seseorang) dengan menyatu tindak tanduk dan perilaku sesuai dengan Yang Maha Agung. Sehingga antara aktivitas diri (seseorang) dengan kehendak Yang Maha Agung dapat sejalan sesuai dengan kehendak wahyu Ilahi, dan saat menuju proses melakukan sebuah aktivitas tidak lepas dari mengarah ke-Yang Maha Tunggal, tentunya dengan cara membagusi hati dan membagusi tindak-tanduk diri (seseorang) yang sudah berusaha melakukan sebuah laku "Manunggaling Kawula Gusti".

Begitu juga dengan istilah: "Kawula" merupakan sebuah tindakan diri (seseorang) di dalam melakukan sebuah aktivitas yang mengarah ke-Yang Maha Tunggal, tentunya menuju Gusti Yang Maha suci sebagai sang penguasa di jagad raya.

Dengan melihat manunggaling kawula, berarti segala aktivitas yang dilakukan oleh diri (seseorang) dengan cara lurus hanya untuk kepasrahan kepada Gusti Yang Maha suci, tentunya segala aktivitas hidup diri (seseorang) akan bermuara kepada Allah SWT.

"Manunggaling Kawula Gusti" merupakan sebuah penyatuan diri kepada gusti sang maha pencipta segala. Sehingga tingkah-laku diri (seseorang) dapat sesuai dengan kehendak sang maha agung, untuk mencapai kehidupan yang baik didunia maupun diakhirat kelak.

Gagasan "Manunggaling Kawula Gusti" berupaya memberikan pemahaman di dalam beragama tidak secara kulit semata, tetapi mampu memberikan sebuah pemahaman agama Islam secara hakikat. Sehingga kalau diri (seseorang) sudah mengerjakan amalan berupa rukun Islam, tetapi masih melakukan tindak-laku yang tidak baik, berarti diri (seseorang) tersebut, ternyata belum mencapai hakikat di dalam beribadah atau masih dalam tahap syar'i belaka.

Tidak jarang kita dipertontonkan oleh para Ustadz dengan gagasan keagamaan Islam yang hanya mengejar syar'i (tuntunan) belaka, tetapi lupa berbicara tentang hakikat sebuah ibadah, bahwa ibadah adalah: sebuah bentuk kepasrahan diri seseorang kepada sang maha suci, untuk di aplikasikan di dalam tataran realitas kehidupan secara baik laku dan tindak-tanduk diri seseorang secara benar, tentunya sesuai dengan kehendak wahyu Ilahi. Namun kenyataannya tidak sedikit ustadz yang hanya mengatakan ibadah dalam tataran sebatas wajib atau haram semata. Maka dari sinilah Manunggaling Kawula Gusti berupaya menyajikan pemahaman Islam secara hakikat tidak secara Syar'i semata.

Dengan membedah tembung "Manunggaling Kawula Gusti" diharapkan dapat menambah wawasan bagi umat Islam, bahwa kita di dalam menjalankan ibadah tidak terjebak hanya sebatas mengejar Syar'i semata, Sehingga kalau kita hanya sebatas mengejar Syar'i belaka, tentunya kita akan melupakan hakikat ibadah itu sendiri. Mengingat hakikat ibadah tidak kalah penting saat kita melakukan sebuah laku tindak-tanduk di dalam beribadah. Karena kalau kita hanya sebatas baik di dalam menjalankan ibadah sesuai Syar'i, tetapi laku tindak-tanduk masih jauh dari hakikat ajaran agama Islam, berarti sama dengan kita membohongi diri kita sendiri,

Semoga dengan membedah tembung "Manunggaling Kawula Gusti" dapat menambah kekayaan Ilmu kita di dalam menempuh kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya, Amin...............

Meluruskan Mushaf Al-Qur'an


By: Khoirul Taqwim

Keberadaan mushaf Al-Qur'an atau shuhuf berasal dari bahasa Arab Selatan kuno, tetapi didalam perjalanannya sejarah mencatat, bahwa dikatakan mushaf Al-Qur'an itu tidak lepas dari mushaf Utsmani atau Mushaf al-Imam, padahal mushaf Al-Qur'an tidak hanya mushaf Ustmani, tetapi ada mushaf Al-Qur'an lainnya, diantaranya: Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Ibn Mas’ud, dan Mushaf Ubay ibn Ka’ab.

Keberagaman dari berbagai mushaf Al-Qur'an yang ada berarti ajaran Islam mempunyai kekayaan yang sungguh menakjubkan, untuk dikaji maupun untuk digali lebih dalam lagi tentang ajaran agama Islam.

Mushaf Al-Qur'an tidak sedikit orang yang menyamakan dengan wahyu Ilahi, padahal mushaf Al-Qur'an merupakan sebuah tulisan yang berusaha membukukan wahyu Ilahi melalui dunia tulis menulis.

Keberadaan wahyu Ilahi merupakan sebuah kehendak agung dari Allah SWT untuk Nabi Muhammad SAW, sedangkan mushaf Al-Qur'an merupakan sebuah susunan bahasa yang berusaha menulis tentang wahyu Ilahi.

Meluruskan Mushaf Al-Qur'an merupakan sebuah keniscayaan, untuk menjadi penerang bagi umat Islam, supaya umat Islam dapat membedakan antara wahyu Ilahi dengan mushaf Al-Qur'an. Karena tidak sedikit yang menganggap, bahwa wahyu Ilahi sama dengan mushaf Al-Qur'an, padahal keduanya sangat berbeda, apabila kalau kita mencermati secara hati-hati dan jernih dalam mengungkap kedua hal tersebut.

Mencari kebenaran tentang wahyu Ilahi membutuhkan sebuah instrumen dan logika yang jelas. Mengingat wahyu Ilahi bersumber dari sang maha pencipta segala, sedangkan mushaf Al-Qur'an sebuah tindakan insan manusia yang berupaya menulis sebuah wahyu Ilahi dari perjalanan Nabi Muhammad SAW dengan membedakan antara firman dan sabda.

Kebenaran wahyu Ilahi sudah tidak diragukan lagi, tetapi kalau wahyu Ilahi sudah di konvers menjadi mushaf Al-Qur'an, berarti sama dengan wahyu Ilahi sudah dijadikan alat untuk menjadi bahan pengetahuan bagi umat Islam secara universal

Dengan meluruskan mushaf Al-Qur'an dapat menjadikan sebuah pemahaman bagi umat Islam, bahwa mushaf Al-Qur'an berjumlah tidak hanya satu saja, tetapi mushaf Al-Qur'an lebih dari satu. Sedangkan wahyu Ilahi berupa Al-Qur'an diturunkan untuk nabi Muhammad SAW, melalui malaikat Jibril. Sedangkan keberadaan mushaf Al-Qur'an berupaya menjelaskan tentang wahyu Ilahi melalui dunia tulis menulis dimasa saat itu, hingga dimasa saat ini.

Semoga Allah SWT memberikan pencerahan Ilmu kepada kami semua, Amin........

Mengembalikan Wahyu Ilahi Vs Kembali Kepada Mushaf Al-Qur'an


By: Khoirul Taqwim

Ketika umat muslim menghadapi beragam permasalahan tentang realitas kehidupan yang dialaminya, ternyata tidak sedikit yang berupaya mencari permasalahan yang dialaminya dengan pondasi ajaran agama Islam. Sehingga menimbulkan beragam tafsir yang tidak sedikit pula tafsir yang muncul hanya sebatas tafsir kepentingan belaka, tanpa melihat kebenaran yang haqiqi. Maka untuk itulah dibutuhkan analisa mengenai pemecahan umat Islam dengan bersumber wahyu Ilahi.

Banyak tokoh umat Islam terutama golongan modern yang berupaya disetiap melihat permasalahan kehidupan mereka berupaya kembali kepada Mushaf Al-Qur'an, padahal ketika kembali kepada mushaf Al-Qur'an kalau tidak dengan hati-hati dan teliti akan terjadi percampuran makna antara mushaf Al-Qur;an dengan realitas kehidupan. Sehingga permasalan yang seyogyanya tidak ada didalam mushaf Al-Qur'an, tetapi dikatakan ini ada didalam mushaf AlQur'an, padahal sudah seharusnya dikatakan ini hanya sebatas tafsir dari mushaf Al-Qur'an, tetapi bukan malah mengatakan permasalahan ini berkaitan dengan Mushaf Al-Qur'an, padahal tidak ada kaitannya sama sekali antara permasalahan yang dialami seseorang dengan keberadaan mushaf Al-Qur'an.

Gagasan kembali kepada mushaf Al-Qur'an tidak jarang menemukan kejangkalan, bagaimana tidak? Mushaf Al-Qur'an yang tidak membicarakan secara detail permasalahan, tetapi seolah-olah mushaf Al-Qur'an berbicara secara detail, hingga keterm-term kecil. Sehingga menimbulkan kerancuan didalam beragama Islam disebabkan munculnya berbagai tafsir dan pemahaman yang disebabkan kembali kepada mushaf Al-Qur'an.

Dengan kembali kepada mushaf Al-Qur'an kalau sebatas hanya dijadikan alat pembenaran diri didalam beragama, tentunya akan menghasilkan sebuah politisasi didalam menjalankan keagamaan. Maka untuk itulah kembali kepada mushaf Al-Qur'an hanya menambah multi tafsir yang menjadikan perbedaan semakin ditonjolkan, Sehingga yang terjadi tafsir antara satu dengan yang lainnya mengalami perbedaan, dan akhirnya yang teerjadi tindakan destruktif antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lainnya.

Sedangkan mengembalikan wahyu Ilahi merupakan sebuah wujud kepasrahan diri, bahwa Al-Qur'an itu wahyu Ilahi. Sehingga dibutuhkan pemahaman membedakan antara wahyu Ilahi dengan mushaf Al-Qur'an, begitu juga perbedaan antara mushaf Al-Qur'an dengan tafsir Al-Qur'an. Mengingat ketiga hal ini kalau tidak berhati-hati akan terjadi percampuradukan, padahal jelas berbeda antara Wahyu Ilahi dengan mushaf Al-Qur'an, dan begitu juga keduanya berbeda dengan tafsir Al-Qur'an.

Dengan mengembalikan wahyu Ilahi kita dituntut dapat membedakan antara wahyu Al-Qur'an dengan mushaf Al-Qur'an. Sehingga kita dapat menganalisa secara jernih dalam berupaya menjelaskan ajaran agama Islam secara benar dan tepat sasaran. 

Semoga Allah SWT memberikan kecerdasan buat diri dan semuanya, Amin.............

Gus Wim Sang Kreator Pembaharu Islam


By: Zidan Mazero


28425_1197081066575_5724955_n

























Khoirul Taqwim atau disebut dengan istilah Gus Wim merupakan seorang pembaharu Islam dalam memberikan penyelesaian mengenai ajaran ke-Islaman, melalui pola pikir yang mengedepankan sumber Islam sebagai kajian utama, dan berusaha memberikan sebuah pemahaman tentang Al-Qur'an dengan tafsir Al-Qur'an. Dari permasalahan inilah Gus Wim menempatkan diri sebagai sang kreator pembaharu Islam.

Keberadaan Islam yang dikenali masyarakat Islam secara luas, telah bercampur baur antara tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an. Sehingga pemahaman umat Islam antara teks dan konteks Al-Qur'an bercampur-baur yang sulit dibedakan. Karena ajaran Islam sudah terlanjur mendarah daging dalam kehidupan umat Islam.

Gagasan Gus Wim sebagai sang pembaharu Islam merupakan sebuah keniscayaan, tentunya disebabkan kondisi umat Islam yang mengalami kerusakan pola pikir, dan tentunya perlu dibenahi secara tepat sasaran.

Cara mengobati Gus Wim dalam membangun pola pikir umat Islam tak lepas dari memberikan sebuah penjelasan, bahwa wahyu Al-Qur'an kebenarannya tidak perlu diragukan lagi, sedangkan tafsir Al-Qur'an masih diragukan. Karena tafsir Al-Qur'an sebatas buatan manusia semata.

Gus Wim bukan mengecilkan makna tafsir Al-Qur'an, tetapi Gus Wim berusaha memberikan sebuah penjelasan tentang sisi negatif dari hasil tafsir Al-Qur'an yang terkadang tidak disadari oleh para pengkajinya. Mengingat Al-Qur'an  yang dibacakan, lalu diterjemahkan, dan lalu ditafsiri. Kalau tidak jeli para pengkaji Al-Qur'an mempunyai anggapan, bahwa apa yang disampaikan para pemuka agama atau disebut dengan istilah Ustadz adalah: AlQur'an, padahal hasil cipta karsa sang Ustdz itu sendiri, tetapi seolah-olah apa yang disampaikan ustadz semuanya adalah: Al-Qur'an

Dari sinilah para pengkaji yang mendengarkan ceramah sang Ustadz menganggap itu adalah: Al-Qur'an, padahal Al-Qur'an tadi sudah dibumbui atau ditambahi dengan terjemahan dan sekaligus dengan tafsirnya, dan hasil tafsir adalah: hasil karsa cipta manusia semata.

Lalu ada pertanyaan sederhana, apakah tidak boleh menafsirkan Al-Qur'an? Bukan masalah boleh atau tidak boleh, tetapi sebuah tafsir atau pemahaman tentang ke-Islaman bisa salah atau bisa benar. Mengingat kebenaran itu milik Allah SWT, sedangkan manusia tak luput dari salah dan khilaf, begitu juga hasil dari pemahaman Islam berupa tafsir Al-Qur'an, tentunya tak luput dari salah dan khilaf pula.

Berangkat dari sinilah Gus Wim dapat dikatakan sebagai sang kreator pembaharu Islam, dan Gus Wim dapat dikatakan pula sebagai sang pembeda antara kebenaran dan prasngka, tentunya semua tak lepas dari perbedaan sumber Al-Qur'an dengan tafsir Al-Qur'an. Maka dari sinilah gagasan Gus Wim dapat dikatakan sebagai penggagas paradigma pemikiran baru tentang ke-Islaman masa kini. Wassalam.................

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB DAN KHOIRUL TAQWIM DALAM MENELAAH KE-ISLAMAN


Disusun oleh: Sayyid Qutub

1. Pendahuluan 

Kajian ke-Islaman dari zaman ke-zaman mulai mengalami kemajuan maupun kemunduran, tetapi dalam perkembangannya Ilmu ke-Islaman tak lepas dari sumber ajaran Islam Al-Qur'an dan Sunnah. Maka dibutuhkan suatu paradigma pemikiran dalam memadukan antara Al-Qur'an dengan realitas kehidupan saat ini.

Banyak para pemikir Islam yang menganggap kehidupan kekinian ada sangkut pautnya dengan Al-Qur'an, padahal tak semua kehidupan saat ini ada dalam sumber Islam tersebut, untuk itu dibutuhkan pemahaman yang mendalam antara sumber Islam dengan kondisi masa kini.

Sumber Islam sebagai bahan rujukan umat Islam saat ini, tetapi apabila sumber Islam dipahami para pemuka agama Islam saat ini, tentunya itu hanya sebatas tafsir. Sehingga para pemuka agama saat ini, tak punya hak mengkafirkan atau membid'ahkan golongan lain. Mengingat itu hanya sebatas tafsir kebenarannya. Maka Khoirul Taqwim mencoba mengembalikan Al-Qur'an bukan pemurnian Islam. Karena pemurnian Islam itu dimasa ke-Nabian bukan dimasa saat ini, untuk itu perlu kajian antara Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai gerakan pemurnian Islam dengan Khoirul Taqwim dalam mengembalikan Al-Qur'an.

2. Biografi Muhammad bin Abdul Wahhab

Abd al-Wahhab, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali dakwah tauhid dalam masyarakat dan cara beragama sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan para sahabat. Para pendukung gerakan ini menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Muhammad bin ?Abd al-Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafiyun (mengikuti jejak generasi salaf) atau Muwahhidun yang berarti "Mengesakan Allah".

Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya keliru menilai mereka dan menyangka bahwa mazhab mereka mengikuti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya saja, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Dan adapula yang menghubungkan mereka dengan gerakan teroris, padahal ajaran mereka sangat anti teroris.

Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatannya dihubung-hubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab yaitu ayahanda penggagas gerakan ini, Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, istilah Wahhabi ini tidaklah sah dinisbatkan untuk nama suatu kelompok, karena sejatinya nama Wahhab adalah nama hanya untuk Allah Ta'ala. Oleh karena itu mereka menisbatkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun(3) (unitarians) karena mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan cara beragama menurut sunnah Rasulullah yang telah ditinggalkan masyarakat. Dia mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik, sementara Muhammad bin ?Abd al-Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Muhammad bin ?Abd al-Wahhab misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.

Masa Kecil Syeikh Muhammad bin ?Abd al-Wahhab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Dia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan kakak laki-lakinya adalah seorang qadhi (mufti besar), sumber rujukan di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.

Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin ?Abd al-Wahhab sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh ?Abd al-Wahhab. Berkat bimbingan orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin ?Abd al-Wahhab berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum berusia sepuluh tahun. Setelah itu, dia diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah

Saudara kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, menceritakan betapa bangganya Syeikh Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerdasan Muhammad. Ia pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".

Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin ?Abd al-Wahhab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.

Kehidupannya di Madinah Ketika berada di kota Madinah, ia melihat banyak umat Islam di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti mengunjungi makam Nabi atau makam seorang tokoh agama, kemudian memohon sesuatu kepada kuburan dan penguhuninya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah.

Hal ini membuat Syeikh Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, akan berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana kepada akidah Islam yang murni (tauhid), jauh dari sifat khurafat, tahayul, atau bidah.


3. Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab

Melihat keadaan umat islam yang sudah melanggar akidah, Syeikh Muhammad mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.

Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan dia berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.

Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan.

Amir menjawab "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang mulia ini." Tetapi Sdia khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang dikeramatkan itu.

Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin al-Khattab ra. yang gugur sebagai syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka.

Bisa saja yang mereka anggap makam Zaid bin al-Khattab itu adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah makam dia, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di dekatnya. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.

Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.

Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di luar Uyainah.

Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.

Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab,Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, dia berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)

Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari percaturan pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.

Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab kemudian pergi ke wilayah Dir’iyyah.

Kehidupannya di Dir'iyya, Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dir'iyyah yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah wilayah Dir’iyyah), Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Bin Suwailim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat. Syeikh kemudian meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada awalnya ia ragu-ragu menerima Syeikh di rumahnya, karena suasana Dir'iyyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak aman. Namun, setelah Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke negeri Dir’iyyah, yaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Suwailim ingin menerimanya sebagai tamu di rumahnya.

Peraturan di Dir'iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad untuk melaporkan kedatangan Syeikh Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepada dia. Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada amir melalui istrinya.

Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah isterinya ini, sang istri menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya: "Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar, janganlah ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kakanda menjemputnya kemari."

Namun baginda bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syeikh itu dipanggil datang menghadapnya, atau dia sendiri yang harus datang menjemput Syeikh untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun kemudian meminta pandangan dari beberapa penasihatnya tentang masalah ini. Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaiknya baginda sendiri yang datang menemui Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut. Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Suwailim, di mana Syeikh Muhammad bermalam.

Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Suwailim, amir Ibnu Saud memberi salam dan dibalas dengan salam dari Syeikh dan bin Suwalim. Amir Ibnu Saud berkata: "Ya Syeikh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berjanji untuk menjamin keselamatan dan keamanan anda di negeri ini dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat Dir'iyyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk berjuang bersama-sama anda demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah RasulNya, sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!"

Kemudian Syeikh menjawab: "Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu wa Taala. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini, nescaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama." Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dir'iyyah yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus melindungi darahnya bagaikan saudara kandung sendiri yang berarti di antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah setia sehidup-semati, dan senasib-sepenanggungan, dalam menegakkan hukum Allah dan RasulNya di bumi Dir'iyyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Syeikh seiring sejalan, bahu-membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya.

Nama Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dir'iyyah maupun di negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dir'iyyah pun berduyun-duyun datang ke Dir'iyyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dir'iyyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi modal utama bagi perjuangan dia yang meliputi disiplin ilmu Aqidah al-Qur’an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatikanya (nahwu-shorof) dan lain-lain.

Dalam waktu yang singkat , Dir'iyyah telah menjadi kiblat ilmu dan tujuan mereka yang hendak mempelajari Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Gema dakwah dia begitu membahana di seluruh pelosok Dir'iyyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Syeikh mulai menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh dia sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, dia memulai di negeri Najd. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.

Berdakwah Melalui Surat-menyurat, Syeikh menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, dia juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu dia berdakwah dengan besi (pedang).

Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, dia menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul.

Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga dia disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.

Memang cukup banyak para da’i dan ulama di negeri-negeri tersebut, tetapi pada waktu itu kebanyakan dari mereka tidak fokus untuk membasmi syirik dalam dakwahnya, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.

Demikian banyaknya surat-menyurat di antara Syeikh dengan para ulama baik di dalam dan luar Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat berharga sekali. Akhir-akhir ini semua tulisan dia yang berupa risalah, maupun kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk dicetak dan sebagian sudah dicetak dan disebarkan ke seluruh pelosok dunia Islam, baik melalui Rabithah al-`Alam Islami, maupun dari pihak kerajaan Saudi sendiri (pada masa mendatang). Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu dia serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya yang telah mewarisi ilmu-ilmu dia. Di masa kini, tulisan-tulisan dia sudah tersebar luas ke seluruh pelosok dunia Islam.

Dengan demikian, jadilah Dir'iyyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran Dir'iyyah juga menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh penjuru dunia dengan membuka madrasah atau kajian umum di daerah mereka masing-masing.

Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.

Di samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Hal ini terjadi karena banyaknya perlawanan dari luar maupun dari dalam. Perlawanan dari dalam terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Maupun dari Penguasa Turki Utsmani yang khawatir terhadap pengaruh dakwah Ibnu Abdil Wahhab yang telah merambah dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Karenanya, demi mempertahankan kekuasaan mereka, mereka mengirim pasukan besar di bawah komando Muhammad Ali Basya (Gubernur Mesir) untuk menaklukkan Dir'iyyah beberapa kali, hingga akhirnya jatuh pada tahun 1233 H.

Banyak di antara tokoh Al Saud dan Al Syaikh (anak-cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) yang ditangkap dan diasingkan ke Mesir pasca jatuhnya ibukota Dir'iyyah, bahkan sebagiannya dieksekusi oleh musuh, contohnya adalah Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan pakar hadits di zamannya. Dia dibunuh dengan cara sangat keji oleh Ibrahim Basya. Demikian pula imam Daulah Su'udiyyah kala itu, yaitu Imam Abdullah bin Su'ud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud (cicit Muhammad bin Saud). Dia dieksekusi di Istanbul, Turki.

Inilah periode Daulah Su'udiyyah I (1151-1233 H). Kemudian berdiri Daulah Su'udiyyah II (1240-1309 H), dan yang terakhir ialah Daulah Su'udiyyah III yang kemudian berganti nama menjadi Al Mamlakah Al 'Arabiyyah As Su'udiyyah (Kerajaan Arab Saudi) yang didirikan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Saud (Bapak Raja-raja Saudi sekarang) pada tahun 1319 H hingga kini.

Selain mendapat perlawanan sengit dari Pihak Turki Utsmani, mereka juga sangat dimusuhi oleh kaum Syi'ah Bathiniyyah, baik dari Najran (selatan Saudi) maupun yang lainnya. Salah satu pertempuran besar pernah terjadi antara kaum muwahhidin dengan pasukan Hasan bin Hibatullah Al Makrami dari Najran yang berakidah Syi'ah Bathiniyyah, dan peperangan ini memakan korban jiwa cukup besar di pihak muwahhidin. Bahkan Imam Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud konon terbunuh di tangan salah seorang syi'ah yang menyusup ke tengah-tengah kaum muwahhidin, dia ditikam dari belakang ketika sedang mengimami salat berjama'ah.

Selain perlawanan sengit dari mereka yang mengatasnamakan Islam, para pengikut dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab juga dimusuhi oleh pihak kafir. Imperialis Inggris yang menjajah banyak negeri kaum muslimin kala itu pun khawatir terhadap dampak buruk penyebaran dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab bagi eksistensi mereka. Sebab dia menghidupkan kembali ajaran tauhid dan berjihad melawan berbagai bentuk syirik dan bid'ah, sedangkan Inggris justeru mempertahankan hal tersebut karena di situlah titik kelemahan kaum muslimin. Artinya, bila kaum muslimin kembali kepada tauhid dan meninggalkan semua bentuk syrik dan bid'ah, niscaya mereka akan angkat senjata melawan para penjajah. Karenanya, Inggris memunculkan istilah 'Wahhabi' dan merekayasa berbagai kedustaan dan kejahatan yang mereka lekatkan pada pengikut dakwah Syaikh Ibn Abdil Wahhab, sehingga banyak dari kaum muslimin di negeri-negeri jajahan Inggris yang termakan hasutan tersebut dan serta merta membenci mereka.

Alhamdulillah, masa-masa tersebut telah berlalu. Umat Islam kini lebih faham tentang apa dan siapa kaum pengikut dakwah Rasulullah yang diteruskan Muhammad bin Abdul Wahhab (yang dijuluki Wahabi) tersebut. Satu persatu kejahatan dan kebusukan kaum orientalis yang sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam semenjak awal, begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini terungkap.

Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, baik dari luar maupun dalam yang dilancarkan melalui pena atau ucapan demi membendung dakwah tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, karena ternyata Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah menggema ke seluruh dunia Islam dari Ujung barat benua Afrika sampai ke Merauke, bahkan mulai menjamah Eropa dan Amerika.

Untuk mencapai tujuan pemurnian ajaran agama Islam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Ia mendapat pertentangan dan perlawanan dari kelompok yang tidak menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya.

Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih keji, yaitu menuduh Syeikh Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut, serta menafsirkan Al Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.

Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syeikh Ibnu `Abdul Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti berikut:

"Sebenarnya tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu `Abdul Wahab sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Diantaranya dia menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."

Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada `Abdurrahman bin `Abdullah, Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Aqidah dan agama yang aku anut, ialah mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya."

`Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Ibnu `Abdul Wahab, seperti berikut: "Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash yang jelas, baik dari Qur’an mahupun Sunnah, dan setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."

Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya dia berkata: "Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang banyak dengan berkata: `Bahwa kami suka mentafsirkan Qur’an dengan selera kami, tanpa mengindahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam’ dan dengan perkataan `bahwa jasad Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.

Dan ziarah kepada kubur Nabi itu tidak sunat, dan Nabi tidak mengerti makna "La ilaha illallah" sehingga perlu diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi: "Fa’lam annahu La ilaha illallah," dan ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami tidak percaya kepada pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab karangan para ulama mazhab, karena didalamnya bercampur antara yang hak dan batil. Malah kami dianggap mujassimah (menjasmanikan Allah), serta kami mengkufurkan orang-orang yang hidup sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti kami. Selain itu kami juga dituduh tidak mahu menerima bai’ah seseorang sehingga kami menetapkan atasnya `bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga ibu-bapaknya juga bukan musyrik.’

Dikatakan lagi bahwa kami telah melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam dan mengharamkan berziarah ke kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan kami, maka orang itu akan diberikan kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau hutang sekalipun.

Kami dituduh tidak mahu mengakui kebenaran para ahlul Bait Radiyallahu 'anhum. Dan kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu serta memaksa seseorang yang tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk diceraikannya, karena akan dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami.

Maka semua tuduhan yang diada-adakan dalam hal ini sungguh kami tidak mengerti apa yang harus kami katakan sebagai jawaban, kecuali yang dapat kami katakan hanya "Subhanaka - Maha suci Engkau ya Allah" ini adalah kebohongan yang besar. Oleh karena itu, maka barangsiapa menuduh kami dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi, mereka telah melakukan kebohongan yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka ketahuilah: bahwa kesemuanya itu adalah suatu penghinaan terhadap kami yang dicipta oleh musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaithan dari menjauhkan manusia untuk mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan keikhlasan beribadah kepadaNya.

Kami beri’tiqad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti melakukan pembunuhan terhadap seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar, begitu juga seperti berzina, riba’ dan minum arak, meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya." (Shiyanah al-Insan, m.s 475)

Khusus tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Dan apapun yang kami yakini terhadap martabat Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahwa martabat dia itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan Dia itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehidupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena Dia itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam mendengar salam orang yang mengucapkan kepadanya. Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun Sunat juga berziarah ke masjid Nabi dan melakukan salat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqamnya. Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca selawat ke atas Nabi, selawat yang datang daripada dia sendiri, maka ia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat."

Tantangan Dakwah dan Pemecahannya, Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan , maka Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).

Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.

Sebagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika dia memimpin gerakan tauhidnya.

Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:

Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
Atas nama politik yang berselubung agama.
Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.

Mereka menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’ ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.

Namun Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan dia tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa memedulikan celaan orang yang mencelanya.

Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah dia:

Golongan ulama khurafat yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan orang-orang soleh yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.
Golongan ulama taashub yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan dia dituduh sebagai murtad.
Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi dia supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang dia.
Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.

Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi pada masa hayat Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.

Merekalah yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya. Demikianlah perjuangan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa Dar’iyah.

Dia pertama kali yang mengumandangkan jihadnya dengan pedang pada tahun 1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da’i ilallah, apabila tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut, meskipun pada tahap pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan jemu dan secara beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.

Oleh karena itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata. Karena masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata.

Alangkah benarnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: " Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.

Namun semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur’an al-Hadid fihi basun syadid yaitu, besi baja yang mempunyai kekuatan dahsyat. yaitu berupa senjata tajam, senjata api, peluru, senapan, meriam, kapal perang, nuklir dan lain-lain lagi yang pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.

Sungguh besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana al-Qur’an menyatakan dengan Wamanafiu linnasi yaitu dan banyak manfaatnya bagi umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab semasa gerakan tauhidnya tiga abad yang lalu.

Orang yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, maupun oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan yang diperhambakan oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya, melainkan jika mereka diiring dengan senjata.

Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.

4. Mengembalikan Al-Qur'an Dalam Kajian Khoirul Taqwim

Al-Qur'an yang menjadi pemahaman umat Islam dari zaman Sahabat sampai saat ini, ternyata tak lepas terjadi pencampur-adukan antara Al-Qur'an dengan tafsir Al-Qur'an dalam pemahamannya. Sehingga tak sedikit umat Islam yang menganggap sesuatu yang diajarkan oleh para pemuka agama seolah-olah Al-Qur'an, padahal hanya sebatas pemahaman Al-Qur'an yang berupa tafsir belaka. Maka dibutuhkan penjelasan secara tepat dalam membedakan antara Al-Qur'an dengan tafsir Al-Qur'an.

Ketika menelaah perjalanan sejarah Al-Qur'an begitu dahsyat untuk diuraikan dalam kehidupan umat manusia, khususnya umat Islam diseluruh belahan bumi. Mengingat Al-Qur'an merupakan sebuah wahyu yang tidak diragukan atas kebenarannya, tetapi didalam perkembangannya banyak tafsir tentang Ayat-ayat Al-Qur'an yang dianggap setara dengan keberadaan wahyu Al-Qur'an, padahal itu hanya sebuah tafsir yang dibuat manusia belaka, tentunya tak luput dari salah dan benar, tetapi tafsir tersebut dianggap sebuah kebenaran Al-Qur'an. Maka dibutuhkan sebuah gagasan mengembalikan Al-Qur'an, supaya umat Islam dapat membedakan antara tafsir Al-Qur'an dengan wahyu Al-Qur'an.

Keberadaan umat Islam dari zaman Sahabat sampai saat ini, tak sedikit yang mengkaji tentang wahyu Al-Qur'an, tetapi tidak sedikit pula yang tersesat atas tafsir Ayat-ayat Al-Qur'an, Bagaimana tidak tersesat? Mengingat Al-Qur'an merupakan sebuah wahyu yang datang dari Allah SWT yang diperuntukkan Nabi Muhammad SAW, melalui malaikat Jibril, namun dalam perkembangan selanjutnya Al-Qur'an berubah menjadi pemahaman tafsir, dan celakanya umat Islam tidak mengetahui perbedaan antara Al-Qur'an dengan tafsir Al-Qur'an. Sehingga menghasilkan pemahaman yang rancu ditengah-tengah kehidupan umat Islam.

Di saat tidak sedikit umat Islam dalam memahami Al-Qur'an, ternyata banyak yang tidak sadar, bahwa apa yang dipahami merupakan sebuah bentuk tafsir Al-Qur'an belaka, tetapi seolah-olah apa yang dipahami umat Islam dianggap sebuah bentuk wahyu Al-Qur'an, padahal Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah SWT yang tidak perlu diragukan kebenarannya, sedangkan tafsir Al-Qur'an merupakan hasil cipta manusia, dan tentunya tak luput dari salah dan benar.

Kerancuan umat Islam dalam pemahaman mengenai Al-Qur'an, ternyata melahirkan sebuah tafsir yang dianggap seolah-olah Al-Qur'an, padahal hanya sebatas tafsir belaka, namun dianggap sebuah bentuk wahyu Al-Qur'an, kalau dipahami seperti ini, niscaya dapat mengakibatkan sebuah pemberhalaan terhadap tafsir Al-Qur'an, padahal kebenaran Hakiki ada didalam wahyu Al-Qur'an, dan bukan berada di tafsir Al-Qur'an. Mengingat tafsir Al-Qur'an buatan manusia, sedangkan wahyu Al-Qur'an firman Allah SWT yang tak perlu diragukan kebenarannya.

Sebenarnya kerancuan pemahaman umat Islam dalam memahami Al-Qur'an, tak lepas dari umat Islam itu sendiri yang memahami permasalahan keseharian yang Seolah-olah ada di dalam wahyu Al-Qur'an. Sehingga terjadi sebuah bentuk yang Seolah-olah antara keseharian umat Islam sama dengan wahyu Al-Qur'an, padahal dalam keseharian umat Islam dengan keberadaan wahyu Al-Qur'an terjadi perbedaan permasalahan, tetapi permasalahan keseharian umat Islam itu ditarik kesimpulan yang Seolah-olah sama dengan permasalahan yang ada di dalam Al-Qur'an, padahal berbeda bentuk permasalahan antara wahyu Al-Qur'an dengan konteks keseharian umat Islam tersebut.

Ketika umat Islam dalam memahami sebuah wahyu Al-Qur'an, ternyata tak sedikit yang terjebak dalam sebuah tafsir belaka. Sehingga memunculkan perbedaan pemahaman umat Islam antara yang satu dengan yang lainnya, kalau perbedaan pemahaman ini saling menghargai, niscaya akan menghasilkan sebuah kekayaan tafsir Al-Qur'an, tetapi kalau tidak terjadi saling tenggang rasa, niscaya akan terjadi perpecahan antar umat Islam tersebut.

Perpecahan umat Islam tak lepas dari perbedaan pemahaman Al-Qur'an. Sehingga memunculkan berbagai sekte dan para kelompoknya. Sedangkan para pemimpin sekte maupun para penganutnya, terus menerus berusaha mencari pembenaran diri, melalui pemahaman dari sebuah penggalan Ayat-ayat suci Al-Qur'an yang seolah-olah itu adalah Al-Qur'an, padahal itu hanya sebatas pemahaman tafsir menurut kelompok dan sekte Masing-masing dalam memahami Al-Qur'an.

Berangkat dari sinilah dapat diambil sebuah titik temu, bahwa umat Islam Al-Qur'annya sama, tetapi tafsir Al-Qur'annya yang membedakan. Sehingga dengan perbedaan tafsir inilah yang tak jarang menghasilkan konfliks antar umat Islam sejak zaman Sahabat sampai zaman saat ini.

Konfliks tafsir Al-Qur'an inilah yang mengakibatkan umat Islam terkotak-kotak dalam sekte yang menghasilkan fanatisme buta dalam kelompoknya Masing-masing sekte tersebut. Maka dibutuhkan sebuah pemahaman baru mengembalikan Al-Qur'an, supaya umat Islam dapat membedakan antara Al-Qur'an dengan tafsir Al-Qur'an. Sebab kalau umat Islam berlarut-larut dalam konfliks tafsir AlQur'an, tentunya yang akan dirugikan umat Islam itu sendiri.

Jadi umat Islam sebenarnya sepakat, bahwasannya Al-Qur'an yang ada itu sama, tetapi tidak sepakat dalam pemahaman Al-Qur'an yang disebut dengan istilah: "tafsir", dan kerusakan umat Islam tak lepas dari mensakralkan tafsir Al-Qur'an yang seolah-olah sama seperti Al-Qur'an, padahal tafsir Al-Qur'an hanya sebatas buatan manusia belaka, dan tentunya kita tidak boleh menyamakan kedudukan tafsir Al-Qur'an dengan wahyu Al-Qur'an. Karena kalau kita menyamakan kedudukan keduanya, berarti sama dengan kita menuju bentuk kesesatan yang menyamakan hasil cipta manusia dengan firman Allah SWT. 

Konsep mengembalikan Al-Qur'an ini merupakan sebuah bentuk resep, supaya umat Islam diseluruh dunia dapat membedakan antara Al-Qur'an dengan tafsir Al-Qur'an. Karena tak sedikit umat Islam yang terjebak apa yang disampaikan para pemuka agama yang Seolah-olah Al-Qur'an, padahal hanya sebatas tafsir Al-Qur'an. Sehingga tak sedikit pula yang mensakralkan tafsir Al-Qur'an yang seolah-olah kedudukannya sama dengan Al-Qur'an, padahal tafsir Al-Qur'an hanya sebatas daya pikir manusia belaka, dan tentunya bisa salah atau bisa benar. Sedangkan Al-Qur'an, adalah: kebenaran Hakiki yang tidak perlu diragukaan kebenarannya.


5. Analisis Tentang Muhammad bin Abdul Wahhab Dan Khoirul Taqwim Dalam Kajian Ke-Islaman

Muhammad bin Abdul Wahhab seorang pemikir Islam yang ingin mengembalikan suatu permasalahan kehidupan dengan Al-Qur'an, Sedangkan Khoirul Taqwim ingin mengembalikan Al-Qur'an. Karena menganggap gagasan dari berbagai pemikir Islam, baik dari Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pemikir Islam hanya sebatas tafsir. Sehingga pemahaman beliau Muhammad bin Abdul Wahhab jangan disetarakan Al-Qur'an.

Pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab tentang gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam hanya sebatas tafsir belaka. Sehingga tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran mutlak atau disetarakan dengan Al-Qur'an.

Pembaharuan pemikiran Khoirul Taqwim terhadap para pemuka agama, baik para pemuka agama Islam terdahulu maupun saat ini merupakan sebuah keniscayaan, bahwa para pemuka agama Islam, mulai dari Sahabat sampai saat ini, tak lepas dari kerancuan dalam pemahaman Ke-Islaman. Mengingat antara Al-Qur'an dengan tafsir Al-Qur'an mengalami pencampur-adukan.

Khoirul Taqwim dengan konsep mengembalikan Al-Qur'an berupaya memberikan penjelasan. Bahwa pemurnian Islam itu dizaman Nabi, sedangkan saat ini hanya seabatas tafsir belaka. Sehingga apabila ada pemurnian Islam, tentunya itu hanya sebatas tafsir belaka, bukan kebenaran yang sejajar dengan sumber ke-Islaman yang ada.

6. Penutup

Semoga kajian ke-Islaman yang dikaji diatas dapat menambah kekayaan Ilmu pengetahuan, khususnya kekayaan ke-Islaman saat ini.

Demikian tulisan sedehana yang saya susun ini, besar harapan saya untuk memperoleh kritik dan saran. Karena kebenaran hanya milik Allah dan kesalahan tak lepas dari kebodohan dan kekhilafan saya pribadi.


Daftar Pustaka

http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhabhttp://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab

http://jistrad.blogspot.com/2015/03/mengembalikan-al-quran.html